Latest News

Showing posts with label Benediktus XVI. Show all posts
Showing posts with label Benediktus XVI. Show all posts

Wednesday, March 5, 2014

[Katekese] Iman Sebagai Warisan dari Benediktus XVI

�Benediktus XVI memiliki devosi yang besar kepada Bunda Maria, terutama kepada Bunda Maria Lourdes, karena penampakannya yang sejernih kristal. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hanya suatu kebetulan dirinya telah memilih tanggal 11 Februari sebagai hari untuk mengumumkan pengunduran dirinya�. Vittorio Messori, penulis asal Italia yang buku-bukunya paling laris diterjemahkan di dunia, telah banyak mempelajari penampakan Maria di Lourdes yang memiliki sintesis pertama dalam bukunya yang terakhir �Bernadette non ci ha ingannati� (Bernadette tidak mengelabui kita). Messori kenal baik dengan Joseph Ratzinger, Paus emeritus BenediktusXVI, persahabatan diantara keduanya itu lahir dalam kesempatan pembuatan buku wawancara dengan mantan Kepala Kongregasi Doktrin Iman itu berjudul �Rapporto sulla Fede� (Ulasan tentang Iman).
Oleh: Shirley Hadisandjaja

Messori dan Ratzinger sering membicarakan tentang Lourdes, dan kebetulan mereka berdua berbagi tanggal kelahiran yang sama: 16 April, dies natalis dari Santa Bernadette.

Menurut Messori, pemilihan tanggal 11 Februari bukanlah sesuatu yang kasual. �Jawaban yang kutemukan terletak pada diri pendahulunya, Beato Yohanes Paulus II. Tanggal 11 Februari sejak dari jaman kepausan Leo XIII sudah masuk ke dalam kalender universal Gereja sebagai Pesta Bunda Maria Lourdes, dan adanya ikatan antara Santuari ini dengan penyakit tubuh, maka Yohanes Paulus II mengabdikan hari itu sebagai Hari Orang Sakit Sedunia. Oleh karena itu Paus Benediktus XVI bermaksud untuk berbicara tentang penyakitnya.�   

Namun, Padre Lombardi, Juru bicara Vatikan tidak mengatakan alasan pengunduran diri Paus Benediktus adalah karena penyakit. Messori menjelaskan, �Senectus ipsa est morbus�, artinya: masa tua itu sendiri juga merupakan suatu penyakit. Pada usia 86 tahun, meskipun nyatanya kau tidak sakit, tetapi ada penyakit yag berkaitan dengan usia. Paus merasakan sakit karena sudah amat lanjut usia, maka aku yakin bahwa ia telah memilih hari itu justru untuk mengakui dirinya yang sakit di antara orang-orang sakit lainnya. Dan juga untuk membaktikan dirinya secara total kepada Bunda Maria: bukan hanya Bunda Maria Lourdes tetapi kepada diri Bunda Maria sendiri.�
Messori melanjutkan, �Tentang Lourdes kita telah membicarakan selama 25 tahun dan pastinya Benediktus XVI telah mengambil kesempatan dalam rangka 150 tahun penampakan Bunda Maria untuk berkunjung ke sana (September 2008). Untuk memberikan ide mengapa Lourdes sangat penting baginya, kita cukup berpikir bahwa pada satu setengah hari itu, diperkirakan ada 3 kotbahnya yang besar. Ternyata, Paus Benedikus telah berbicara sebanyak 15 kali, hampir setiap kali tanpa teks dan sering kali ia tampak terharu. Ia selalu terlihat memiliki devosi yang besar kepada Maria dan kepada sosok Santa Bernadette, kepada penampakan Bunda Maria di Lourdes yng sejernih kristal: di sana tidak ada rahasia, semuanya jelas, jernih.�

Kemudian Messori menjelaskan bahwa kemunduran diri Paus Benediktus yang dipandang oleh banyak pengamat sebagai suatu sikap menyerah di hadapan kesulitan-kesulitan, sebaliknya justru pada kenyataannya merupakan sebuah tanda ketegaran dan kerendahan hati. Kebebasan dalam agama Katolik itu jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dipikirkan orang. Ada bebagai karakter yang berbeda, kisah-kisah berbeda, karisma-karisma yang berbeda dan kesemuanya itu dihormati karena turut mengambil bagian dalam kehendak bebas yang suci dari setiap umat beriman. Pada diri Yohanes Paulus II ada sisi mistik, ia adalah seorang mistik dari Timur. Sementara pada diri Benediktus XVI ada sisi rasional Barat, dari seorang yang modern. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan pilihan: yang mistik, dari Paus Wojtyla, yang alot dan bertahan sampai akhir; atau pilihan rasional, seperti Paus Ratzinger: yaitu mengakui tidak lagi memiliki kekuatan fisik dan bahwa Gereja justru memerlukan seorang pemimpin dengan tenaga yang besar. Maka, demi kebaikan Gereja lebih baik mengundurkan diri. Pilihan-pilihan itu keduanya berdasarkan pada Kitab Suci.     

Paus Benediktus telah selalu menakjubkan kita dengan kerendahan hatinya. Dan memang, pilihan yang diambilnya ditandai dengan sikap kerendahan hati yang besar, sebuah bakti yang selalu nyata dalam dirinya. Kata Messori, �Aku ingat kembali akan sebuah episode pada tahun 1985 yang batik sangat menakjubkan: setelah 3 hari keseluruhan melakukan wawancara untuk buku �Rapporto sulla Fede�, sebelum ditutup aku bertanya kepadanya: �Yang Mulia, dengan segala sesuatu yang Anda ceritakan kepada saya tentang situasi Gereja (pada saat itu banyak pertentangan) ijinkan saya bertanya: apakah Anda masih bisa tidur di malam hari?� Dan ia menjawab dengan wajah dan mimiknya yang kekanakan dan mata kerangnya: �Saya tidur nyenyak sekali, karena saya menyadari bahwa Gereja bukan milik kita, tetapi milik Kristus, kita ini hanya pelayan-pelayanNya yang bersahaja: setiap malam saya melakukan latihan kesadaran diri, apabila saya melihat telah melakukan dengan kehendak baik apa saja yang dapat  saya kerjakan, maka saya tidur dengan nyaman�.

Begitulah seorang Ratzinger yang selalu memiliki keyakinan yang jelas bahwa kita bukan dipanggil untuk menyelamatkan Gereja, tetapi untuk melayani Gereja, dan apabila tidak sanggup lagi maka kita melayani Gereja dengan cara lain, yaitu berlutut dan berdoa. Keselamatan adalah perkara Kristus. Maka, dengan kemunduran dirinya ini, kita dipanggil untuk �belajar untuk melakukan tugasmu sebaik mungkin dan ketika kau menyadari tidak mampu lagi mengemban tugas itu, tidak ada lagi tenaga untuk mengemban tugas, maka kau ingat bahwa Gereja bukanlah milikmu dan serahkan tugas itu kepada orang lain dan lakukanlah karya bagi Gereja yang di dalam perspektif iman jauh lebih besar, jauh lebih berharga: karya berdoa dan menyandarkan penderitaanmu kepada Kristus.� Messori melihat ini sebagai suatu sikap dari kerendahan hati yang besar, dari kesadaran diri bahwa menjadi tugas Kristus untuk menyelamatkan Gereja, bukanlah kita manusia-manusia yang hina untuk menyelamatkannya, meskipun engkau seorang Paus sekalipun.

Ketika Paus Benediktus XVI berbicara kepada para seminaris Roma ia berkata bahwa saat orang berpikir bahwa Gereja hampir punah, kenyataannya Gereja justru selalu membaharui dirinya. Messori menjelaskan bahwa orang sering kali melupakan bahwa pada awal masa kepausannya, Benediktus XVI mengatakan: program kerja saya adalah tidak memiliki program-program. Dalam pemahaman menempatkan diri kembali di hadapan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan di depan oleh Sang Ilahi. Rancangan strategi yang besar, pada dasarnya, terdapat di sini, mengukuhkan domba-domba di dalam iman. Messori melanjutkan, �Mengenai ini, aku selalu merasakan keselarasan dengannya, Benediktus XVI selalu telah menjadi seorang Paus yang meyakini perlunya mengangkat kembali Apologetik dan menemukan kembali rasio-rasio dari iman. Ia juga yakin, seperti halnya diriku, bahwa banyak masalah Gereja yang disebut parah pada kenyataannya adalah masalah sekunder: masalah kelembagaan, masalah gerejawi, administrasi, masalah-masalah moral dan liturgi, tentu saja amat penting; tetapi di sekelilingnya ada sebuah pertengkaran klerus yang � seperti yang dikatakannya sendiri di dalam dokumen indikasi Tahun Iman � menerima iman begitu saja, padahal tidak harus begitu. Untuk apa kita saling bertengkar tentang bagaimana mengatur lebih baik lembaga-lembaga vatikan, dan bahkan tentang prinsip-prinsip yang tidak dapat dikompromi, untuk apa kita bertengkar dan juga mengatur pembelaan diri jika kita sendiri tidak lagi percaya bahwa Injil itu benar? Jika kita tidak lagi percaya akan Keilahian Yesus Kristus maka segala sesuatu menjadi omong kosong. Dan memang bukan kebetulan, karya Benediktus yang terakhir dan besar adalah menetapkan Tahun Iman: tetapi dari iman yang tekun dalam arti apologetik, mencoba menunjukkan bahwa seorang kristen bukan orang yang bodoh, mencoba menunjukkan bahwa kita tidak percaya akan sebuah dongeng, mencoba menunjukkan alasan-alasan apa saja untuk percaya. Jalur-jalur strateginya yang besar hanya terdapat dalam hal ini: menegaskan kembali alasan-alasan untuk bertaruh pada kebenaran Injil. Persoalan-persoalan lainnya dihadapi hari demi hari. Dan ini telah dilakukannya dengan amat baik.�

Dengan penjelasan dari Messori ini maka benarlah mengatakan bahwa Iman adalah warisan sejati dari Paus Benediktus, dan warisan ini harus kita ambil dengan serius. Dalam Gereja, di dalam perspektif masa depan, apologetik harus memiliki sebuah peranan inti, karena jika dasarnya tidak benar, maka segala sesuatunya tidak masuk akal. Benediktus XVI telah meninggalkan kepada kita kesadaran bahwa kita harus menemukan kembali alasan-alasan untuk percaya.

Vivit Dominus in cuius conspectu sto.

Wednesday, January 29, 2014

Gelar Patriark Barat-Paus Roma


Dalam membahas gelar �Patriarkh Barat�, perlu ditelaah kembali beberapa latar belakang historis yang berhubungan dengan primasi dan supremasi yang ada didalam diri seorang Paus, sebagai suksesor rasul Petrus. Sehubungan dengan otoritas Paus yang dipandang lebih tinggi daripada seluruh Uskup, meski Paus juga seorang Uskup Agung dari Keuskupan Agung Roma. Namun, tetaplah Paus memiliki otoritas yang unik dan tidak dimiliki oleh Uskup lainnya. Paus dalam segala tetek bengeknya memiliki beberapa gelar: Uskup Roma, Wakil Yesus Kristus, Suksesor Santo Petrus-Sang Pangeran para Rasul, Imam Agung Gereja Universal, Patriarkh Barat, Primat Italia, Uskup Agung Metropolit Provinsi Roma, Pemegang kedaulatan Negara Vatikan, Hamba dari Hamba Allah.

Gelar Patriarkh Barat ini muncul dalam dokumen-dokumen sepanjang sejarah. Gelar ini memberikan fakta bahwa Gereja perdana mengakui suatu kepemimpinan tertentu di antara para Uskup dari lima kota paling bergengsi di wilayah mediterania kuno; Roma, Antiokhia, Alexandria, Konstantinopel (salah satu kota dengan para Uskup Byzantine yang berusaha setengah mati untuk merebut urutan nomor dua setelah Roma) dan Yerusalem. Gelar ini diresmikan oleh Paus Theodorus I (642-649) saat Kekaisaran Romawi terbagi menjadi dua yaitu Roma di barat dan Konstantinopel di timur. Namun kisah dari gelar ini pupus saat Paus Benediktus XVI menanggalkannya pada bulan Februari 2006. Tindakan sri Paus dalam menanggalkan gelar ini memunculkan reaksi panas dari kalangan umat, kebingungan bahkan kekhawatiran.

Annuario Pontificio, buku tahunan resmi Vatikan, pada edisi terbarunya tahun 2006 silam, tidak lagi menyebutkan gelar Patriarkh Barat kepada Paus Benediktus XVI yang kala itu baru saja menjabat sebagai seorang Paus. Tindakan yang terbilang ekstrim ini dilakukan oleh Paus Benediktus bukanlah tanpa alasan, Paus Benediktus XVI yang kabarnya membuat keputusan sendiri untuk melepas gelar ini, berharap untuk menghilangkan konsep pemikiran bahwa Takhta Suci yang menggambarkan kemuliaan Gereja Barat maka seolah-olah terpisah dari Gereja Timur entah dalam tradisi ataupun hal lainnya. Gelar yang muncul secara tradisional sebelum �Primat Italia� yang jarang sekali digunakan setelah Skisma Besar 1054, ketika Gereja-gereja Orthodoks memisahkan diri dari Takhta Suci, ini sempat menghadapi beberapa rintangan. Beberapa teolog Katolik seperti Kardinal Yves Congar�berpendapat bahwa istilah �Patriarkh Barat� tidak memiliki dasar sejarah dan teologi yang jelas. Ini diperkenalkan kepada Nomenklatur Kepausan pada 1870 tepat pada saat Konsili Vatikan I.  "Menurut saya, Paus ingin menghilangkan sejenis komparasi dan sikapnya tersebut untuk merangsang lancarnya perjalanan ekumenis , " tandas Kardinal Silvestrini.

Paus Benediktus memilih untuk menghapus gelar ini pada saat diskusi ekumenis dengan Gereja-gereja Ortodoks untuk menekankan pelayanan Uskup Roma kepada seluruh komunitas Kristen, sebagai fokus persatuan dalam Gereja universal. Gelar-gelar yang ada melekat pada Paus ini telah berkembang selama berabad-abad, sebutan yang berbeda ini mencerminkan kuasa Paus dan otoritas Apostolik. Istilah "Paus" pada awalnya tidak selalu digunakan secara eksklusif untuk Uskup Roma. Hal ini diterapkan bagi uskup lain sampai abad ke-11, hingga Paus Gregorius VII mengeluarkan perintah bahwa gelar �Paus� hanya dikenakan oleh penerus Santo Petrus.

Gelar pertama untuk Paus ialah, " Uskup Roma" yang merupakan tampilan asli seorang Paus, yang dipilih oleh para Kardinal. Selanjutnya yaitu gelar "Wakil Yesus Kristus" dan �Suksesor Santo Petrus-Sang Pangeran Para Rasul� yang secara eksplisit dan implisit menyatakan peran Petrus sebagai pemegang kunci Kerajaan Surga yang telah ditunjuk oleh Kristus sendiri untuk menggembalakan Gereja-Nya. Gelar ini mulai digunakan pada abad ke-5 dan ke-6.

Dimulai pada abad ke-12, Paus menyatakan diri memiliki kewenangan yang lebih besar atas para uskup lainnya. Gelar �Imam Agung Gereja Universal� diresmikan. Kedudukan Petrus sebagai �Primus Inter Pares�, yang pertama dari antara yang lain, bukanlah suatu yang asing dari pewartaan Perjanjian Baru. Dia adalah pribadi yang mewakili Gereja menyatakan iman akan Yesus sebagai Putra Allah sehingga kemudian Petrus ditetapkan sebagai batu karang Gereja (bdk. Mat 16:13-20). Pilihan akan Petrus bukanlah karya manusia, melainkan buah rahmat ilahi, yang akannya manusia bisa taat. (Paus Benediktus XVI)

Gelar "Primat Italia�, " Uskup Agung Metropolit Provinsi Roma" dan "Pemegang Kedaulatan Negara Vatikan" adalah referensi otoritas hukum dan kanonik Paus seperti yang didefinisikan oleh hukum Gereja dan Perjanjian Lateran tahun 1929. Gelar terakhir yaitu, "Hamba dari Hamba Allah" menjadi penutup dari keseluruhan gelar Paus yang sangat jelas memberikan realitas bahwa Paus adalah seorang hamba. Sama seperti manusia biasa dengan segala sifat baik dan jahat, nafsu seksual dan dosa.


Dengan demikian, yang perlu digarisbawahi ialah, dengan melepas gelar Patriarkh Barat, Paus Benediktus XVI bukan seolah-olah takut bahwa gereja-gereja yang berada diluar Gereja Katolik tidak akan kembali ke rumah mereka, persatuan gereja-gereja itu pasti terjadi sesuai dengan doa Yesus sendiri, �Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, didalam Aku dan Aku didalam Engkau, agar mereka juga didalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.� (Yoh 17:21). Sehingga, setiap orang Katolik terpanggil untuk membawa mereka semua pulang ke pangkuan Bunda Gereja melalui doa, dengan menjadi saudara mereka--bersaudara sebagai murid-murid Kristus.

Dominus illuminatio mea!
Vivit Dominus in cuius conspectu sto.

Thursday, October 24, 2013

Ars Celebrandi - Seni Merayakan Liturgi

Berikut sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Pater Vittorio Peturzzi, vikaris paroki di Aprilia dari Keuskupan Albano kepada Paus Em. Benediktus XVI, sewaktu ia menjabat sebagai seorang Paus.

Yang mulia, untuk tahun pastoral yang tidak lama lagi akan dimulai, keuskupan kami diminta oleh Uskup untuk member perhatian khusus pada Liturgi, dalam hal dimensi teologis dan praktik perayaan. Tema sentral untuk refleksi pada minggu-minggu tenang yang akan dilaksanakan pada bulan September adalah: �Rencana dan implementasi pewartaan dalam tahun Liturgi, dalam Sakramen-sakramen, dan dalam sakramentali.� Sebagai imam, kami dipanggil untuk merayakan �liturgi yang serius, sederhana dan indah,� meminjam rumusan yang indah yang ada dalam dokumen �Mengomunikasikan Injil dalam Dunia Yang berubah� oleh para Uskup Italia. Bapa suci, dapatkah Anda membantu kami memahami bagaimana semua ini dapat diungkapkan dalam �ars celebrandi�?


ARS CELEBRANDI: Disini saya juga ingin mengatakan bahwa terdapat dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi pertama adalah celebratio, yaitu doa dan percakapan dengan Tuhan: Tuhan bersama kita dan kita bersama Tuhan. Maka persyaratan pertama untuk perayaan yang baik adalah imam benar-benar masuk dalam percakapan. Dalam mewartakan Sabda itu, ia sendiri merasakan sedang bercakap-cakap dengan Tuhan, Ia adalah pendengar Sabda dan pengkhotbah Sabda, dalam arti bahwa ia sendiri membuat dirinya sebagai alat Tuhan dan berusaha untuk memahami Sabda Tuhan ini yang kemudian harus ia sampaikan kepada umat. Ia berada dalam percakapan dengan Tuhan karena teks dari Misa Kudus bukanlah naskah drama atau semacam itu, tetapi doa-doa, ucapan syukur bersama dengan umat, yang kita sampaikan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, penting untuk masuk dalam percakapan itu. St. Benediktus dalam �Peraturan"nya mengatakan kepada para rahib, ketika berbicara tentang pendarasan Mazmur, �Mens corcodat voci.� Vox kata-kata, sebelumnya memenuhi pikiran kita. Masalahnya tidak selalu demikian: Orang harus berpikir kemudian pikiran itu akan menjadi kata-kata. Tetapi disini, perkataan datang lebih dahulu. Liturgi yang kudus memberikan kepada kita perkataan-perkataan itu; kita harus masuk ke dalam perkataan itu, menemukan suatu keselarasan dengan realitas ini yang mendahului kita.
Ditambah lagi, kita juga harus belajar memahami struktur Liturgi dan mengapa struktur itu disusun seperti itu. Liturgi itu dibangun dalam dua millennium dan bahkan setelah reformasi, bukan sesuatu yang disusun oleh hanya beberapa ahli Liturgi. Liturgi tetap merupakan kesinambungan dari penyembahan dan pewartaan yang sedang berjalan.

Maka, agar dapat serasi, sangat pentinglah memahami struktur Liturgi yang telah dibangun selama sekian waktu dan masuk dengan pikiran kita kedalam suara Gereja. Ketika kita sudah menghayati dan memahami struktur ini, memadukan kata-kata Liturgi, kita dapat masuk ke dalam kedalaman dari keserasian ini dan dengan demikian tidak hanya berbicara kepada Tuhan sebagai individu, tetapi masuk kedalam �kekitaan� Gereja, yaitu berdoa. Dan dengan demikian, kita mengubah �keakuan� kita dengan cara ini, dengan masuk kedalam �kekitaan� Gereja, dengan memperkaya dan memperluas �keakuan� ini, dengan berdoa bersama Gereja, dengan kata-kata Gereja, kita benar-benar berada dalam percakapan dengan Allah.

Inilah syarat pertama: Kita sendiri harus menghayati struktur, kata-kata Liturgi, dan Sabda Tuhan. Maka, perayaan kita benar-benar menjadi sebuah perayaan �bersama� Gereja: Hati kita diperluas, dan kita tidak melakukan apa pun kecuali melakukannya �bersama� Gereja, dalam percakapan dengan Tuhan. Menurut pendapat saya umat benar-benar merasakan bahwa kita bercakap-cakap dengan Tuhan, dengan mereka, dan dalam doa yang sama ini kita menarik orang lain, dalam persekutuan dengan anak-anak Allah kita menari orang lain, atau jika tidak, kita hanya melakukan sesuatu yang dangkal.

Maka, unsur yang fundamental dari ars celebrandi yang benar adalah keserasian ini, keselarasan antara apa yang kita katakan oleh bibir kita dan apa yang kita pikirkan dalam hati kita. �Sursum corda, � , sebuah kata dari Liturgi yang sangat kuno, harus ada sebelum Prefasi, sebelum Liturgi, sebagai �jalan� untuk percakapan kita kepada Tuhan, bukan hanya sebagai respon ritual tetapi sebagai ungkapan hati yang diarahkan, dan juga mengarahkan hati orang-orang lain.

Dengan kata lain, ars celebrandi tidak dimaksudkan sebagai sebuah undangan untuk bermain drama atau pertunjukkan, melainkan dimaksudkan untuk sebuah kedalaman jiwa yang membuat kedalaman itu sendiri dirasakan dan diterima dan jelas bagi umat yang ikut ambil bagian. Hanya jika mereka memahami bahwa ini bukanlah ars (seni) yang diluarnya saja atau ars  (seni) yang spektakular � kita bukan para aktor! � tetapi ungkapn perjalanan hati kita yang menarik hati mereka juga, maka Liturgi akan menjadi lebih indah, Liturgi akan menjadi persekutuan semua umat yang hadir dengan Tuhan.

Tentu, hal-hal yang eksternal harus juga diasosiasikan dengan kondisi fundamental ini, yang diungkapkan dalam kata-kata St. Benediktus: �Mens concordat voci� � hati benar-benar diarahkan, diarahkan kepada Tuhan. Kita harus belajar untuk mengatakan kata-kata itu dengan benar.

Kadang-kadang, ketika saya masih seorang guru di Negara saya, anak-anak muda membaca Kitab Suci. Mereka membacanya seperti orang membaca teks puisi yang tidak dimengerti. Tentu saja, untuk belajar mengatakan kata-kata dengan benar, seseorang pertama-tama harus memahami teks itu dengan dramanya, dengan kesegarannya. Hal ini berlaku juga untuk Prefasi dan Doa Syukur Agung.

Sulit bagi orang-orang beriman mengikuti sebuah teks sepanjang Doa Syukur Agung kita. Untuk alasan ini �penemuan-penemuan� baru secara terus menerus muncul. Namun demikian, Doa-doa Syukur Agung yang terus-menerus baru tidaklah menyelesaikan masalah itu. Masalahnya adalah bahwa inilah saat untuk mengajak umat berdiam diri bersama Tuhan dan berdoa bersama Tuhan. Oleh karena itu, akan menjadi lebih baik jika Doa Syukur Agung diucapkan dengan baik dan dengan benar berhenti sejenak untuk hening, dan jika diucapkan dengan kedalaman iman dan juga dengan seni berbicara

Pada saat Doa Syukur Agung diucapkan harus ada waktu khusus untuk konsentrasi, dan harus diucapkan sedemikian rupa, sehingga umat dapat turun terlibat. Saya pecaya kita juga harus menemukan kesempatan-kesempatan dalam katekese, homili, dan suasana-suasana lain untuk menjelaskan Doa Syukur Agung ini dengan baik kepada Umat Allah sehingga mereka dapat mengikuti saat-saat yang penting itu � kata-kata konsekrasi, doa untuk mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal, ucapan syukur kepada Tuhan, dan epiclesis � jika komunitas benar-benar dilibatkan dalam Doa ini.

Maka, kata-kata itu harus diucapkan dengan pantas. Kemudian harus ada persiapan yang cukup. Para pelayan Altar harus tahu apa yang dilakukan; para lektor harus benar-benar pembaca yang berpengalaman. Kemudian koor, harus berlatih lagu-lagu yang akan dinyanyikan: Dan Altar harus dihias dengan benar. Semua ini, meskipun hanya hal-hal yang praktis, adalah bagian dari ars celebrandi.

Kesimpulan-kesimpulannya, unsure fundamentalnya adalah seni memasuki persekutuan dengan Tuhan, yang kita persiapkan sebagai imam sepanjang hidup kita.

Catatan:
Sursum coda, secara harfiah �naikkan hati,� atau seperti yang kadang-kadang dikatakan �arahkan hatimu.� Ini adalah ajakan imam pada waktu pembukaan Doa Syukur Agung dalam Misa Kudus. �Dialog� di awal pembukaaan tetap sama sejak abad-abad awal Gereja.

Disadur oleh Katolisitas Indonesia dari Paus Menjawab hal 91-96.

Wednesday, February 27, 2013

Terima Kasih Paus Emeritus Benediktus XVI!



Disini Katolisitas Indonesia akan mengarsipkan beberapa buah video terakhir yang telah dipersembahkan oleh Paus Emeritus Benediktus XVI kepada seluruh umat beriman misalnya dalam bentuk Audiensi, doa Angelus, Misa Kudus. 


Memang perlu disadari bahwa usia Beliau sudah sangat lanjut, dan kita harus tahu bahwa memegang tugas sebagai seorang Paus bukanlah sebuah tugas yang bisa dianggap enteng, Beliau bukan hanya menggembalakan umat Kristus yang Katolik namun juga harus memimpin negara Vatikan sebaik mungkin. 


Terkadang kita harus bersedih mengapa seorang Paus yang amat brilian ini bisa mengundurkan diri, namun kita juga harus bangga! Karena kita umat Katolik dan seluruh dunia adalah saksi nyata pengunduran diri seorang Paus dalam rentang waktu hampir 600 tahun.